Review Film Desa Penari Luwih Dowo, Luwih Medeni
Review Film Desa Penari Luwih Dowo, Luwih Medeni

Review Film Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni

Posted on

Review Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni – Berikut ini beberapa ulasan tentang review film Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni yang tayang di bioskop indonesia terlebih film ini merupakan film terbaru yang tayang di tahun 2023 sekarang ini. Demi kalian para pecinta film akan kami berikan beberapa review Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni dengan kritik saran yang mudah dipahami dan dimengerti.

Review Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni

Sempat ditunda berkali-kali sejak jadwal tayang semula, ternyata KKN Di Desa Penari yang diluncurkan pada April 2022 masih berhasil mengumpulkan 9,2 juta penonton. Apa yang membuatnya fenomenal? Tentu saja thread viral Twitter yang diberikan oleh akun bernama SimpleMan ini ampuh karena ada “kedekatan” dengan masyarakat Indonesia. Karena sebelumnya pun kejadian-kejadian mistis selama kegiatan Bakti Sosial (SCC), termasuk yang berkaitan dengan kecabulan mahasiswa, kerap mengisi obrolan di sekitar kita.

Kedekatan inilah yang memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi nasib para tokohnya, baik yang menjadi “korban langsung” maupun yang terkena dampak ulah teman-temannya. Kini rumah produksi MD Pictures ingin mengulang momen “close up” tersebut dengan merilis KKN Di Desa Penari versi perpanjangan bertajuk KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni dengan tambahan waktu tayang 40 menit.

Baca juga:
Review Film Avatar: The Way of Water

Enam mahasiswa KKN di desa terpencil, Nur (Tissa Biani), Widya (Adinda Thomas), Ayu (Aghniny Haque), Bima (Achmad Megantara), Anton (Calvin Jeremy) dan Wahyu (M Fajar Nugraha) tidak pernah menyangka. desa yang mereka pilih bukanlah desa biasa.

Pak Prabu (Kiki Narendra), kepala desa, memperingatkan mereka untuk tidak memasuki gerbang terlarang di desa tersebut. Tempat misterius ini mungkin ada hubungannya dengan para penari cantik yang mulai mengganggu Nur, juga Vidya. Satu per satu, mereka mulai merasakan keanehan desa tersebut.

Bima mulai merubah sikapnya. Program KKN mereka berantakan. Penduduk desa okultisme tampaknya tidak menyukai mereka. Nur akhirnya mengetahui bahwa salah satu dari mereka telah melanggar aturan paling mematikan di desa tersebut.

Baca juga:
Review Film Argantara

Teror penari misterius itu semakin mengerikan. Mereka kemudian meminta bantuan dukun setempat Mbaha Buyut (Diding Boneng). Tapi sudah terlambat. Mereka terancam tidak bisa pulang dengan selamat dari desa yang disebut desa para penari.

Penulis skenario jarang mengharapkan karakterisasi yang solid dalam film horor. Namun tanpa itu, kekuatan KKN di Kampung Penari pasti akan turun drastis. Sedikit goyah, film ini sebenarnya memiliki babak ketiga yang kuat yang mencakup adegan tarian yang intens (penampilan Aghnina Haque yang biasa-biasa saja di sepanjang film, tiba-tiba melonjak di titik ini) dan endingnya diarahkan pada perasaan tragis dari teman-teman yang menonton.

Dengan tambahan durasi yang diberikan, ternyata cukup mampu menyembuhkan lubang yang ditinggalkan rilisan sebelumnya. Setiap orang kini berusaha mendapatkan penokohan yang jelas, semakin banyak interaksi antar tokoh yang dipelajari, apa yang mereka lakukan selama KKN juga divisualisasikan. Teman yang menonton akan mudah terhubung dengan karakternya, yang pada akhirnya akan menimbulkan sesuatu yang disebut rasa tragedi.

Baca juga:
Review Film Avatar: The Way of Water

Naskah film ini ditulis oleh Lele Laila yang menjadi klien Awi Suryadi selama keterlibatannya dengan serial Danur sebagai sutradara. Berkaca pada masa lalu, mudah ditebak pendekatan umum keduanya: kompilasi teror! Naskahnya benar-benar mengadaptasi utas SimpleMan tanpa berusaha mengembangkan cerita secara keseluruhan.

Gaya penyutradaraan Awi sepertinya lebih mendekati film Asih ketimbang trilogi Danur. Tempo lambat di awal berfungsi untuk menciptakan suasana sekaligus menghindari suara loncatan yang menakutkan. Harus diakui, gaya di atas dan mahalnya biaya yang memudahkan “hobi” sang sutradara untuk tampil gaya (kerja kamera, efek transisi, dll) mampu membuat film ini tidak terlihat murahan. Tapi tetap saja percuma bila masih menyamakan “groove” dengan “terror build”.

Kelemahan dalam membangun cerita KKN di Kampung Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni membuat penyajian film ini tidak mampu mencapai kualitas pengisahan terbaik. Namun, bukan berarti film ini tidak layak untuk ditonton. Kesan bagus yang berhasil diberikan Avi Suryadi terhadap kualitas teknis film membuat film ini nyaman untuk ditonton.

Baca juga:
Review Film Argantara

Suasana kelam yang coba dibangun Awi Suryadi juga nampaknya cukup berhasil menggambarkan unsur horor, meski jarang terlihat menyeramkan di beberapa tempat. Penampilan para kru pemeran film juga kerap mengungguli penggalian penokohan yang mereka perankan. Hal ini menurut penulis cukup langka di film horor Indonesia.

Terakhir, versi ini sebenarnya lebih baik dari pendahulunya yang dirilis delapan bulan lalu. Dengan sedikit extra scene dan beberapa polesan CGI yang terasa fresh, akhirnya film ini membuatnya semakin jelas dan detail di setiap scene yang ada, dan tentunya otomatis menambah kompleksitas struktur naratifnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *